Kisah Nyata, Karma Akibat Menelantarkan Anak dan Istri
Thursday, July 5, 2018
Edit
Sebuah penyesalan selalu saja berada di akhir cerita. Demikian pula dengan kisah sesal Narso yang hidup menjauh dari keluarganya.
Belasan tahun ia tinggalkan anak-isterinya demi mengejar kesenangan semu.
Keluarganya terlantar lantaran dia berani berkorban apa pun demi perempuan simpanannya.
Tapi, Narso harus menelan pil pahit. Allah memberi ganjar pada setiap hamba-Nya yang berlaku cela.
Kali ini dengan sederet kenaasan nasib dan penyakit terkutuk selama hidup hingga maut menjemputnya.
Wajah lelaki tua renta itu menatap nanar ke arah Sumi. Matanya berkaca-kaca.
Sesekali ia seka air yang bergulir di pipinya itu, sambil terus-menerus tangannya menggapai-gapai meraih wajah Sumi, gadis kecilnya yang kini sudah beranjak dewasa.
"Sudah besar kamu sekarang, Nduk..." gumam Narso tersenyum seraya kelihatan sekali bahagia.
Sementara Sumi, juga tak kuasa menahan tangis, Wanita yang sudah dikaruniai anak itu bersyukur bisa kembali bertemu dengan ayahnya setelah bertahun-tahun ditinggalkan.
"Kondisi Bapak sudah baikan?" tanya Sumi memecah kesunyian dan rasa pilu yang muncul di antara mereka sedari tadi.
"Alhamdulillah, penglihatan Bapak sudah agak membaik," Narso menyahut senang.
Batin Sumi tak henti-hentinya berucap syukur. Sejak kedatangan bapaknya sebulan lalu dari tanah rantau, kini kondisi kesehatannya sudah jauh lebih baik. Sangat berbeda dari kondisi ketika pertama kali ayahnya datang.
Tubuh tegap dan paras rupawan yang pernah dimiliki sang ayah seakan sirna entah kemana, berganti dengan tubuh yang berbalut tulang yang dihiasai borok di kaki dan tangan.
Badannya pun kumal, dekil, bau dan menjijikkan. Pakaiannya compang-camping, layaknya pengemis yang tak pernah tersentuh air dan belum diisi makanan beberapa hari. Benar-benar mengenaskan.
Sumi tak menyangka ayahnya bisa berubah seperti itu. Yang selalu terbayang dalam ingatannya adalah sosok seorang ayah yang perlente.
Maklumlah, dulu ayahnya adalah seorang mantri yang berpenampilan menarik.
Selain karena faktor pandai membawakan diri, mungkin kekayaan yang dimilikinya dahulu juga menjadi penunjang mengapa dia begitu enak dipandang.
Tapi, batin Sumi yang lain cenderung mengatakan bahwa perubahan yang terjadi pada ayahnya adalah balasan atas apa yang sudah diperbuat sang ayah.
Begitu juga dengan seluruh keluarganya yang lain, yang dulu pernah menerima perlakuan buruk Narso.
Masih lekat dalam benaknya tentang sikap dan sifat Narso yang kasar terhadap Maryam, Ibunya.
Tak segan-segan Narso bertindak kasar dengan cara memukul, menampar bahkan sampai menendang sang isteri.
Kalau lagi benar-benar suasana hatinya kesal, anak-anaknya yang masih kecil-kecil pun jadi sasaran amukannya.
Sebenarnya perubahan ini muncul sejak Narso diduga tengah menggandrungi wanita lain selain Maryam.
Suatu hari, sang isteri coba mengkonfirmasikan desas-desus yang bahkan tengah menjadi buah bibir di kampungnya itu.
Sungguh di luar dugaan Maryam, mantri perlente itu mengiyakan!
"Kalau saya jatuh cinta lagi dengan perempuan lain, bukan urusan kamu! Urusan kamu itu ya mengurus rumah dan anak-anak!" bentak Narso kasar dengan nada menentang.
Deg! Jantung Maryam berdegup kencang mendengar pengakuan jujur itu. Semula dia menduga perubahan kasar sang suami hanyalah akibat dari pekerjaan kantornya yang begitu menumpuk. Dia tak mau menduga terlalu jauh dan berlebihan.
Namun karena telah sebulan ini suaminya sering telat pulang, bahkan beberapa hari tidak pulang ke rumah sama sekali, dugaan awal Maryam agak bergeser.
Wanita sabar ini demikian khawatir pada apa yang menjadi dugaannya.
Benar saja, prasangka yang menakutkan itu kini nyata adanya.
Padahal sebelumnya keluarga pasangan Narso-Maryam dikenal sebagai keluarga harmonis dan berkecukupan di kampung Sawo.
Narso bisa dibilang suami siaga bagi isterinya dan ayah yang mengayomi bagi anak-anaknya. Apalagi, keharmonisan itu ditunjang dengan kebutuhan materi yang lebih dari cukup.
Tapi, ketenangan itu berubah tatkala Narso memproklamirkan diri akan menikah lagi dengan wanita simpanannya!
Ya. Sejak Narso mengaku jatuh cinta lagi dan memiliki 'pacar baru', tingkah dan sifatnya menjadi aneh dan menjengkelkan. Perilaku kasarnya semakin menjadi-jadi.
Pada isterinya, anak-anaknya, saudaranya, atau siapa pun yang selalu mengingatkan perubahan sikapnya yang buruk tersebut.
Kondisi demikian, mirisnya berimbas terhadap pekerjaannya.
Narso jadi malas bekerja. Dia sering bolos. Hari-harinya diisi dengan hura-hura dan mengencani idaman barunya. Pergi tak pernah pamit, pulang pun semaunya saja.
Menurut pengakuan beberapa orang tetangga yang pernah bertemu Narso selama dia tidak pernah pulang ke rumah, narso selalu jalan bersama seorang perempuan muda.
Tanpa perasaan risih saat bertemu dengan tetangganya, Narso berani berlaku mesra.
Sebagai seorang istri yang suaminya sedang lupa diri, hari-hari yang demikian menjelma bak neraka bagi Maryam.
Sejak suaminya berubah, Maryam bukan saja tak lagi mendapatkan kasih sayang dan cinta suami, namun kebutuhan dapur, biaya sekolah dan jajan anak-anaknya sehari-hari pun berangsur-angsur surut. Narso tak lagi menafkahinya lahir batin.
Tapi mau bagaimana lagi. Tak ada pilihan lagi. Maryam tak berani mengambil risiko jika harus minta cerai dari suaminya. Ia mencoba bertahan saja mengingat anak-anaknya masih kecil.
Bagaimanapun, rasa cinta terhadap sang suami sulit diusir begitu saja dari hatinya.
Sayangnya pertahanan tersebut nyaris bobol kala suatu hari narso pulang ke rumah dengan mata menyala-nyala.
"Yang saya ingat waktu itu bapak ngamuk seperti minta sesuatu. Kayaknya sih uang atau barang beraharga," kata Sumi yang coba mengingat-ingat hari petaka itu.
Dengan seenaknya, tanpa memerdulikan kondisi sang isteri, Narso meminta uang dengan paksa pada Maryam, baju-baju sang isteri di dalam lemari digeledahnya dengan kasar.
Bahkan semua tempat yang bisa menjadi tempat penyimpanan uang isterinya pun tak luput dari incarannya.
Sumber: akuislam.id